Selasa, 27 Maret 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN


MATERI
SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
SEBELUM KEMERDEKAAN

PEMATERI
MARDYANTO BARUMBUN (1111040013)
RAHMA NASIR (1111040026)



Di dalam suatu masyarakat, bahasa memunyai suatu peranan yang penting dalam memersatukan anggotanya. Sekelompok manusia yang menggunakan bahasa yang sama akan merasakan adanya ikatan batin di antara sesamanya. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus seiring dengan sejarah bangsa pemiliknya.
Bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaan Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa resmi Negara Republik Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa Melayu, yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau (bahasa Melayu dari provinsi Riau, Sumatera, Indonesia). Nama Melayu mula-mula digunakan sebagai nama kerajaan tua di daerah Jambi  di tepi sungai Batanghari, yang pada pertengahan abad ke-7 ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya. Selama empat abad kerajaan ini berkuasa  di daerah Sumatera Selatan bagian timur dan di bawah pemerintahan raja-raja Syailendra bukan saja menjadi pusat politik di Asia Tenggara, melainkan juga menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Pada awal abad ke-15 kerajaan Malaka di Semenanjung berkembang dengan sangat cepat menjadi pusat perdagangan dan pusat pertemuan para pedagang dari Indonesia, Tiongkok, dan dari Gujarat. Para pedagang dari Jawa pada waktu itu dikuasai oleh Majapahit membawa rempah-rempah, cengkih dan pala dari Indonesia Timur ke Malaka. Hasil bumi di Sumatera yang berupa kapur barus, lada, kayu cendana, dan yang lainnya dibawa ke Malaka oleh para pedagang dari Sumatera. Di Malaka mereka membeli barang-barang dagangan yang dibawa oleh para pedagang dari Tiongkok dan Gujarat berupa sutera dari India, kain pelikat dari Koromandel, minyak wangi dari Persia, kain dari Arab, kain sutera dari Cina, kain bersulam dari emas dari Tiongkok, kain satin, kipas dari Tiongkok, dan barang-barang perhiasan yang lain.
Letak kota pelabuhan Malaka sangat menguntungkan bagi lalu lintas dagang melalui laut dalam abad ke-14 dan 15. Semua kapal dari Tiongkok dan Indonesia yang akan berlayar ke barat melalui Selat Malaka. Demikian pula semua kapal-kapal dari negara-negara yang terletak di sebelah barat Malaka apabila berlayar ke Tiongkok atau ke Indonesia juga melalui Selat Malaka, sebab pada saat itu, Malaka adalah satu-satunya kota pelabuhan di Selat Malaka. Oleh karena itu, Malaka menguasai perdagangan antara negara-negara yang terletak di daerah utara, barat dan timurnya.
Perkembangan Malaka yang sangat cepat berdampak positif terhadap bahasa Melayu. Sejalan dengan lalu lintas perdagangan, bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa perdagangan dan juga penyiaran agama Islam dengan cepat tersebar ke seluruh Indonesia, dari Sumatera sampai ke kawasan timur Indonesia.
Perkembangan Malaka sangat cepat, tetapi hanya sebentar, karena pada tahun 1511 Malaka ditaklukkan oleh angkatan laut Portugis dan pada tahun 1641 ditaklukkan pula oleh Belanda. Dengan kata lain, Belanda telah menguasai hampir seluruh Nusantara.
Belanda, seperti halnya negara-negara asing yang lain sangat tertarik dengan rempah-rempah Indonesia. Mereka tidak puas kalau hanya menerima rempah-rempah dari pedagang Gujarat. Oleh karena itu, mereka datang sendiri ke daerah rempah itu. Pada tahun 1596 datanglah pedagang Belanda ke daerah Banten di bawah nama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Tujuan utama mereka adalah untuk berdagang, tetapi sejak tahun 1799 diambil alih oleh pemerintah Belanda. Dengan demikian tujuannya bukan hanya untuk berdagang, melainkan juga untuk tujuan sosial dan pendidikan.
Masalah yang segera dihadapi oleh Belanda adalah masalah bahasa pengantar. Tidak ada pilihan lain kecuali bahasa Melayu yang dapat digunakan sebagai bahasa pengantar, karena pada saat itu bahasa Melayu secara luas sudah digunakan sebagai lingua franca di seluruh Nusantara. Pada tahun 1521, Pigafetta yang mengikuti pelayaran Magelhaens mengelilingi dunia, ketika kapalnya berlabuh di Tidore, menuliskan kata-kata Melayu. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Melayu yang berasal Indonesia sebelah itu telah tersebar luas sampai ke daerah Indonesia sebelah timur.
Dari hari ke hari kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca semakin kuat, terutama dengan tumbuhnya rasa persatuan dan kebangsaan di kalangan pemuda pada awal abad ke-20 sekalipun mendapat rintangan dari pemerintah dan segolongan orang Belanda berusaha keras menghalangi perkembangan bahasa Melayu dan berusaha menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa nasional di Indonesia. Para pemuda yang tergabung dalam berbagai oraganisasi, para cerdik pandai Indonesia berusaha keras mempersatukan rakyat. Mereka sadar bahwa hanya dengan persatuan seluruh rakyat, bangsa Indonesia dapat menghalau kekuasaan kaum penjajah dari bumi Indonesia dan mereka sadar juga hanya dengan bahasa Melayu mereka dapat berkomunikasi dengan rakyat. Usaha mereka menyatukan rakyat, terutama para pemudanya memuncak pada Kongres Pemuda di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928, dalam kongres itu para pemuda dari berbagai organisasi pemuda mengucapkan ikrar mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Demikianlah, tanggal 28 Oktober merupakan hari yang amat penting, merupakan hari pengangkatan atau penobatan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, atau dengan kata lain sebagai bahasa nasional.
Pengakuan dan pernyataan yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu tidak akan ada artinya tanpa diikuti usaha untuk mengembangkan bahasa Indonesia, meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sebagai realisasi usaha itu, pada tahun 1939 para cendekiawan dan budayawan Indonesia menyelenggarakan suatu kongres, yaitu Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Dalam Kongres itu Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa "Jang dinamakan 'bahasa Indonesia' jaitoe bahasa melajoe jang soenggoehpoen pokoknya berasal dari 'melajoe riau' akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah atau dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia, pembaharoean bahasa malajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia". Oleh karena itu, kongres pertma ini memutuskan bahwa buku-buku tata bahasa yang sudah ada tidak memuaskan lagi, tidak sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia sehingga perlu disusun tata bahsa baru yang sesuai dengan perkembangan bahasa.
Hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1942 tak satu keputusan pun yang telah dilaksanakan karena pemerintah Belanda tidak merasa perlu melaksanakan keputusan-keputusan itu. Barulah pada masa pendudukan Jepang Bahasa Indonesia memperoleh kesempatan berkembang karena pemerintah Jepang seperti halnya pemerintah penjajah yang lain sesungguhnya bercita-cita menjadikan bahasa resmi di Indonesia terpaksa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Perkembangan berjalan dengan sangat cepat sehingga pada waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia telah siap menerima kedudukan sebagai bahasa negara, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya.
Pada dasarnya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa penghubung antar suku di nusantara dan sebagai bahasa yang digunakan dalam perdagangan antara pedagang dari dalam nusantara dan dari luar nusantara.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan – peninggalan, misalnya :
1.                  Tulisan yang terdapat pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380 M.
2.                  Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang, pada tahun 683.
3.                  Prasasti Talang Tuo, di Palembang, pada tahun 684.
4.                  Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada tahun 686.
5.                  Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada tahun 688.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah nusantara, serta makin berkembang dan bertambah kokoh keberadaannya karena bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa dan antar kerajaan.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah nusantara memengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928)
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Bentuk yang lebih formal, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diadopsi oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Penyebutan pertama istilah “Bahasa Melayu” sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuna dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan Aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuna di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, Ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik merupakan kelanjutan dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303. Seiring dengan berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
1.                  Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Jika bahasa Jawa digunakan,
suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.                  Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.                  Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4.                  Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
Berikut merupakan perkembangan bahasa Indonesia secara rinci:
1.                  Kerajaan Sriwijaya (dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
2.                  Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
3.                  Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Hindia-Belanda melihat bahwa bahasa Melayu (Tinggi) dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi. Pada periode ini mulai terbentuklah “bahasa Indonesia” yang secara perlahan terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor. Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
4.                  Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa “penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.”
5.                  Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
6.                  Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.

Lahirnya Bahasa IndonesiaSebagaimana Anda ketahui, bahasa Indonesia yang sekarang ini berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan yangditempuh oleh bahasa Indonesia tak terpisahkan dengan perjalanan yang ditempuh oleh bangsaIndonesia untuk merdeka. Sejalan dengan hal tersebut, sejarah perkembangan bahasa Indonesiadapat ditinjau dari masa sebelum Indonesia merdeka dan masa sesudah merdeka.Peristiwa bersejarah yang monumental bagi bangsa dan bahasa Indonesia adalahdiikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Ikrar Sumpah Pemuda ituterdiri atas tiga butir yang berbunyi sebagai berikut :Pertama Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yangsatu, tanah IndonesiaKedua Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa IndonesiaKetiga Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa IndonesiaTampak pada teks di atas bahwa ikrar pertama dan kedua berbeda dengan ikrar yang ketiga. Ikrar  pertama dan kedua berupa pernyataan pengakuan terhadap tumpah darah yang satu dan bangsayang satu; sedangkan ikrar yang ketiga tidak berupa pengakuan, tetapi berupa kebulatan tekaduntuk men¬junjung bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan.Ikrar ketiga Sumpah Pemuda tidak berbunyi:Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa yang satu, bahasa Indonesia.Dengan demikian, ungkapan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yang sering diucapkanorang tidak sesuai dengan aslinya. Memang, kita mengaku satu nusa dan satu bangsa, tetapi tidak mengaku hanya satu bahasa. Banyak orang salah sangka terhadap ikrar ketiga Sumpah Pemuda.Bangsa Indonesia tidak berkeinginan hanya memiliki satu bahasa dipertegas oleh penjelasan Pasal 36, UUD 1945, yang menyebutkan bahwa bahasa-bahasa daerah yangdipelihara dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Bali dan sebagainya),dihormati dan dipelihara juga oleh negaraDalam pada itu, nama ³bahasa Indonesia´ baru dikenal sejak 28 Oktober 1928, yangsebelumnya bernama ³bahasa Melayu.´ Bahasa Melayulah yang mendasari bahasa Indonesiayang kemudian diangkat menjadi bahasa persatuan. Masalah yang menarik perhatian para ahlisosiologi bahasa adalah kondisi apa yang memungkinkan bahasa Melayu dipilih dan disepakatiuntuk diangkat menjadi bahasa nasional. Dan, mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda yang jumlah penuturnya lebih banyak daripada bahasa Melayu.Berikut ini dikemukakan beberapa alasan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.1. Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita. Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah lainnya.2. Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan yangmelampaui batas-batas wilayah bahasa lain meskipun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun bahasa daerah lainnya.3. Bahasa Melayu .masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.
Bahasa Melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa. Bahasa Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur yang berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan tidak rnenimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah. Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib bersyukur atas kerelaan merekamembelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni cita-cita nasional. Hal seperti ini tidak terjadi di negara tetangga kita, misalnya Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Filipina (Tagalog) yang diangkat menjadi bahasa nasional mendapat saingan keras dari bahasa Sebuano dan Hokano yang tidak rela bahasa Tagalog menang. Malaysia mencontoh Indonesia dalam kebijakan bahasa mereka dengan menetapkan bahasa Malaysia sebagai bahasa persatuan, yang sekarang sudah menjadi bahasa resmi. Singapura menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan dan menduduki bahasa kedua setelah bahasa Inggris.  Dalam pada itu, ada beberapa pendapat berkaitan dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang perlu kita perhatikan. Muh. Yamin, penyusun ikrar Sumpah Pemuda, pada Kongres Pemuda IndonesiaI tahun 1926, menyatakan keyakinannya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu. Selanjutnya dengan tegas dia menyatakan bahwa bahasa yang dahulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah dikubur dan hidup menjelma menjadi bahasa Indonesia. Tiga bulan menjelang diadakan Sumpah Pemuda, tepatnya pada 15 Agustus 1926, Soekarno dalam pidatonya menyatakan bahwa perbedaan bahasa di antara suku bangsa Indonesia tidak akan menghalangi persatuan, tetapi makin luas bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar, makin cepat kemerdekaan Indonesia akan terwujud. Ada pendapat lain, sesudah, diikrarkan Sumpah Pemuda, terutama yang berkaitan dengan ikrar ketiga, St. Takdir Alisjahbana menjelaskan secara luas apa yang disebut bahasa Indonesia. Dia menyatakan, bahasa Indonesiaialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk AsiaSelatan dan setelah bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan. Dalam pernyataan itu dengan sengaja dicantumkan kata dengan zwa/untuk membedakan pengertian antara bahasa yang dahulu disebut bahasa Melayu dengan bahasa yang sekarang disebut bahasa Indonesia. Selanjutnya, St. Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa bahasa Indonesia itu terusan, sambungan dari bahasa Melayu, tetapi ada bedanya dengan fase yang dahulu. Bahasa Indonesia itu dengan insaf diangkat dan dijunjung serta dipakai sebagai bahasa yang memperhubungkan dan menyatukan rakyat Indonesia.
St. Takdir Alisjahbana
Sejalan dengan pendapat di atas, H.B. Yassin menyatakan bahwa Sumpah Pemuda adalah suatu manifesto politik yang juga mengenai bahasa. Penamaan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia tidak berdasarkan perbedaan dalam struktur dan perbendaharaan bahasa pada masa itu, tetapi semata-mata dasar politik. Dalam bahasa tidak terjadi perubahan apa-apa, tetapi hanya berganti nama sebagai pernyataan suatu cita-cita kenegaraan, yaitu kesatuan, tanah air, bangsa dan bahasa.Perlu Anda ketahui bahwa pada zaman penjajahan Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua, di samping bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan Rakyat. Sayangnya, anggota bumi putra tidak banyak yang memanfaatkannya.Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo padatahun 1938. Pada kongres itu ada dua hasil keputusan yang penting, yaitu bahasa Indonesia diusulkan menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan. Demikianlah lahirnya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsyafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk  bersatu. Dan, api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka, yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah Jepang. Pada tahun 1942 Jeparig menduduki Indonesia. Dalam keadaan tiba-tiba, Jepang tidak dapat memakai bahasa lain, selain bahasa Indonesia untuk berhubungan dengan rakyat Indonesia. Bahasa Belanda jatuh dari kedudukannya sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang digunakan. Sebenarnya Jepang mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud membuat bahasa Jepang menjadi bahasa resmi di Indonesia sebagai pengganti bahasa Belanda. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat seperti waktu dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang memilih jalan yang praktis, yaitu memakai bahasa Indonesia yang sudah tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Perlu Anda catat bahwa selama zaman pendudukan Jepang 1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan. Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari berorientasi terhadap bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memakai bahasa Indonesia. Saat Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua peristiwa tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional identik dengan bahasa persatuan yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan semangat kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara secara formal belum terwujud.


DOWNLOAD KLIK DISINI

KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NASIONAL


MATERI :
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
SEBAGAI BAHASA NASIONAL
OLEH :
TITI ADRIANI HAKIM (1111040062)
ALFIAN BAKRI (1111040055)



“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :
1.      Lambang kebanggaan kebangsaan.
2.      Lambang identitas nasional.
3.      Alat pemersatu berbagai suku bangsa.
4.      Alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Keempat fungsi bahasa indonesia sebagai bahasa nasional di atas dimiliki oleh bahasa indonesia sejak tahun 1928 sampai sekarang.
a.    Bahasa Indonesia sebagai Lambang Kebangsaan Nasional.
Tidak semua bangsa di dunia mempunyai sebuah bahasa nasional yang dipakai secara luas dan dijunjung tinggi. Contohnya saja Belgia misalnya, menggunakan 2 bahasa resmi dan bukan merupakan bahasa aslinya (Prancis dan Jerman). Bangsa Swiss harus menggunakan 4 bahasa nasional atau resmi sekaligus (Jerman, Perancis, Inggris, dan Rumania). Keempat bahasa tersebut juga bukan miliknya. Dan negara tetangga kita Malaysia yang harus menggunakan bahasa negara persemakmurannya yaitu Inggris. Serta masih banyak lagi negara yang tidak menggunakan bahasanya sendiri dalam melakukan komunikasi. Situasi seperti ini, tidaklah menguntungkan bagi suatu bahasa karena tidak dapat mencirikan bangsa tersebut, tidak ada identitas bangsa tersebut.
Lain halnya dengan bangsa Indonesia, yang tetap menggunakan bahasanya sendiri yaitu bahasa indonesia dalam melakukan interaksi. Adanya sebuah bahasa yang berbeda merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa indonesia. Ini menunjukkan bahwa bangsa indonesia sanggup mengatasi perbedaan yang ada. Fungsi bangsa indonesia sebagai lambang kebanggaan nasional mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebanggaan. Seluruh suku bangsa di Indonesia harus memiliki rasa kebanggaan berbahasa nasional. Atas dasar kebanggaan inilah bahasa Indonesia harus dipelihara dan dikembangkan . bangsa Indonesia sebagai pemilik bahasa Indonesia harus merasa bangga menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahasa Indonesia merupakan lambang kebanggan nasional. Pernyataan ini sebenarnya mungkin harus dibuktikan dengan sikap yang tercermin dalam perilaku setiap warga negara Indonesia.
Tanpa mengurangi arti bahwa dalam kenyataan, bahasa Indonesia merupakan satu – satunya bahasa yang dapat mengkomunikasikan seluruh bangsa Indonesia yang memiliki beragam bahasa daerah. Walaupun demikian, pada kenyataannya masih ada terdapat perilaku-perilaku yang kurang menguntungkaan bagi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Perilaku-perilaku tersebut adalah:
1.      Terdapat kewajiban bagi tiap – tiap daerah untuk membina dan mengembangkan bahasa daerahnya masing – masing.
2.      Adanya ‘keharusan’ atau ‘keterpaksaan’ untuk mengembangkan bahasa asing.
Dengan kenyataan tersebut, maka kebanggaan terhadap bahasa Indonesia masih dalam tahap pengujian dan merupakan persoalan yang memerlukan jawaban. Sebagai bangsa yang merasa bertanggung jawab terhadap bahasa nasional, kita seharusnya bisa berusaha memecahkan persoalan tersebut, walaupun secara sadar mengetahui tidak akan dapat berhasil dengan sekali pukul. Usaha – usaha yang harus ditempuh untuk menanggulangi masalah tersebut adalah:
1.      Jalur pembinaan aspek – aspek kebahasaan beserta beserta fungsi – fungsi
2.      Jalur pembinaan sikap mental beserta perilaku penuturnya.
Friedrich Schiller mengatakan: "Bahasa adalah cermin suatu bangsa. Jika kita bercermin, maka terpantul wajah kita - diri kita sendiri." Olehnya, sebagai orang indonesia, kita harus menggunakan bahasa indonesia dalam keseharian kita.

b.    Bahasa Indonesia sebagai Lambang Identitas Bangsa.
Ernst Moritz Arndt mengatakan: "Tak ada elemen terluhur yang dimiliki suatu bangsa selain bahasa." Identitas tak lain dari ungkapan kesamaan yang menyatakan dan menentukan hidup seseorang di suatu kelompok tertentu yang bersifat sebagai  “pembeda antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya, pembeba antar bangsa dan suku”. Bahasa merupakan identitas sebuah bangsa. Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang budaya dan bahasanya berbeda. Untuk membangun kepercayaan diri yang kuat, sebuah bangsa memerlukan identitas. Identitas sebuah bangsa bisa diwujudkan di antaranya melalui bahasanya. Seperti yang tersebut dalam salah satu bait gurindam XII Raja Ali Haji yang menyebutkan “ Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihatlah kepada budi bahasanya”.
Dengan adanya sebuah bahasa yang mengatasi berbagai bahasa yang berbeda, suku-suku bangsa yang berbeda dapat mengidentikkan diri sebagai satu bangsa melalui bahasa tersebut. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa indonesia harus dijunjung tinggi di samping bendera dan lagu kebangsaan. Di dalam pelaksanaan fungsi ini, bahasa Indonesia harus memiliki identitasnya tersendiri yang membedakannya dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia akan mampu berdiri sebanding, berkedudukan sama (sejajar) dengan bahasa-bahasa lain di dunia, jika kita sebagai bangsa Indonesia mau  menghormati, menghargai serta mampu  menggunakannya dengan baik dan benar berdasarkan konteks dan kedudukannya.
c.       Bahasa Indonesia sebagai Alat Pemersatu Berbagai Suku Bangsa.
Sebuah bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang budaya dan bahasanya berbeda akan mengalami masalah besar dalam melangsungkan kehidupannya. Hal ini di alami oleh bangsa indonesia, yang merupakan negara kepulauan terbesar didunia. dengan banyaknya pulau, indonesia memiliki beragam suku bangsa yang yang tersebar di pulau-pulau tersebut dengan bahasanya yang beragam pula. Begitu banyaknya suku yang ada di indonesia sangat besar kemungkinan terjadinya kesalahpahaman yang kemudian akan menimbulkan perpecahan dan peperangan antar suku. Hal ini disebabkan suku-suku tersebut kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan suku lainnya yang memiliki bahasa daerah tersendiri yang tidak dimengerti oleh suku laiinnya. Kesalahpahaman-kesalahpahaman ini dapat memecah belah bangsa.
Maka oleh sebab itu, diperlukan satu bahasa yang dapat dimengerti atau dipahami oleh semua suku di Indonesia. Bahasa tersebut adalah bahasa indonesia. Bahasa yang dapat menyatukan semua suku bangsa di Indonesia. Dengan bahasa yang satu mampu mengantarkan seluruh rakyat indonesia yang berbeda latar belakang sosial, budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama sebab latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Dengan bahasa Indonesia pula, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan. Dan kesimpulannya, dengan adanya bahasa indonesia yang diakui sebagai bahasa nasional  oleh semua suku bangsa yang ada, perpecahan itu dapat dihindari karena suku-suku bangsa tersebut merasa satu. Kalau tidak ada, sebuah bahasa , seperti bahasa indonesia yang bisa menyatukan suku-suku bangsa yang berbeda, akan banyak muncul masalah perpecahan bangsa.
d.      Bahasa Indonesia sebagai Alat Perhubungan Antardaerah dan Antarbudaya.
Masalah yang dihadapi bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya dan bahasa yang berbeda adalah komunikasi. Diperlukan sebuah bahasa yang dapat dipakai oleh suku-suku bangsa yang berbeda bahasanya sehingga mereka dapat berhubungan. Bahasa indonesia sudah lama memenuhi kebutuhan ini. Sudah berabad-abad bahasa ini menjadi lingua franca di wilayah indonesia.
Bayangkan saja apabila misalnya  kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Selain itu, bahasa indonesia digunakan dalam berbagai macam media komunikasi. Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran Radio, Website, dll.
Bahasa Indonesia perlu dibina dan dikembangkan untuk menunjukkan kepada bangsa lain tentang kekayaan nasional berupa pemilikan bahasa nasional Indonesia.  Bahasa inilah yang telah berhasil menyatukan cita dan semangat masyarakat indonesia yang majemuk. Nilai-nilai budaya yang berkadar nasional yang dikomunikasikan melalui bahasa indonesia.

DOWNLOAD KLIK DISINI

BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NEGARA


MATERI :
BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NEGARA

OLEH :
YUSTIKA JULIARTI (1111040021)
RAHMAWATI JAFAR (1111040024)


BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NEGARA
Bahasa indonesia sebagai bahasa negara  berarti bahasa indonesia adalah bahasa resmi.sehingga  bahasa indonesia harus digunakan sesuai dengan  kaidah, tertib, cermat, dan masuk akal. Bahasa Indonesia yang dipakai harus lengkap dan baku. Tingkat kebakuannya diukur oleh aturan kebahasaan dan logika pemakai. Posisi bahasa indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus sehingga bahasa indonesia tidak akan terpinggirkan oleh bahasa asing karena dalam sejarahnya sendiri bahasa indonesia adalah bahasa persatuan.
Sebagaimana kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian berikut.secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahantersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yangmenginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting yang tercantum didalam :
1.      Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
2.      Undang- Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan lambing Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa negara adalah:
1.      Bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu
2.      Secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya
3.      Bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu
Ketiga faktor di atas sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa Indonesia.

Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakandi Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai:
1.      Bahasa resmi kenegaraan
2.      Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
3.      Alat perhubungan di tingkat nasional untuk kepentingan pembangunan dan pemerintahan
4.      Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagaibahasa negara.

A.   Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi Kenegaraan
Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasan resmi kenegaraan adalah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945.  Dalam kaitan dengan fungsi ini, sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia di pakai untuk Hal-hal kenegaraan. Misalnya, bahasa Indonesia di pakai pada semua upacara, peristiwa dan   kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Pidato-pidato resmi, dokumen-dokumen, keputusan-keputusan, dan surat-surat resmi harus di tulis dalam bahasa Indonesia.Upacara-upacara kenegaraan juga dilangsungkan dengan bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap presiden kita, Soeharto yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situsi apa dan kapan pun selama beliau mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah.  
  Untuk melaksanakan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan, pemakaian bahasa Indonesia perlu di kembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu di jadikan salah satu faktor penentu di dalam pengembangan tugas pemerintahan. Misalnya, penerimaan pegawai baru dan kenaikan pangkat, baik sipil maupun militer, serta pemberian tugas khusus di dalam maupun di luar negeri. Di samping itu, mutu kebahasaan yang di pakai pada siaran radio, televisi, dan surat kabar perlu di tingkatkan  dan di kembangkan lebih baik lagi. Karena semua itu adalah media  yang di lihat dan di dengar  oleh masyarakat tiap harinya. Sehingga, kita harus menggunakan kata- kata yang baik da benar, agar dapat di mengerti oleh semua kalangan. Dimana bahasa Indonesia dalam hal ini di posisikan sebagai bahasa nasional yang  dapat di mengerti masyarakat luas.  Sehingga, tidak terjadi kesalahpahaman di dalam masyarakat dalam menerima informaszi yang di sampaikan.

B.    Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pengantar dalam Dunia Pendidikan
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar dilembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Halini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar. Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dilembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran yang berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.

C.    Bahasa Indonesia sebagai Alat Perhubungan di Tingkat Nasional untuk Kepentingan Pembangunan dan Pemerintahan
        Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antar badan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat. Kalau ada lebih dari satu bahasa yang di pakai sebagai alat perhubungan, keefektifan pembangunan dan pemerintahan akan terganggu, karena akan di perlukan waktu yang lebih lama dalam brerkomunikasi. Bahasa Indonesia dapat mengatasi hambatan ini. 
        Pada mulanya, memang ada yang meragukan kemampuan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dan interaksi manusia Indonesia, tetapi ternyata bahasa ini mampu mengungkapkan pikiran-pikiran yang cukup rumit melalui kreativitas pengguna bahasa yang bersangkutan terutama dalam kepentingan pembangunan dan pemerintahan.


D.  Bahasa Indonesia sebagai Alat Pengembangan Kebudayaan , Ilmu pengetahuan dan Teknologi
Untuk mengembangkan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi di perlukan  bahasa yang bisa di pakai untuk keperluan tersebut dan bahasa tersebut dapat di mengerti oleh masyarakat luas . Tanpa bahasa seperti ini, pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengalami hambatan karena proses pengembangannya akan memerlukan waktu yang lama dan hasilnya pun tidak akan tersebar secara luas. Bahasa Indonesia adalah satu – satunya alat yang memungkinkan kita membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memikili ciri – ciri dan identitasnya sendiri ,yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional sangat beragam yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula. Akhirnya, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi,bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda, dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi,baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.

DOWNLOAD KLIK DISINI