MATERI
SEJARAH
PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
SEBELUM
KEMERDEKAAN
PEMATERI
MARDYANTO BARUMBUN (1111040013)
RAHMA NASIR (1111040026)
Di
dalam suatu masyarakat, bahasa memunyai suatu peranan yang penting dalam memersatukan
anggotanya. Sekelompok manusia yang menggunakan bahasa
yang sama akan merasakan adanya ikatan batin di antara sesamanya. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus
seiring dengan sejarah bangsa
pemiliknya.
Bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaan Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Bahasa Indonesia yang
berkedudukan sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa resmi Negara Republik
Indonesia merupakan sebuah dialek bahasa Melayu, yang pokoknya dari bahasa
Melayu Riau (bahasa Melayu dari provinsi Riau, Sumatera, Indonesia). Nama
Melayu mula-mula digunakan sebagai nama
kerajaan tua di daerah Jambi di tepi
sungai Batanghari, yang pada pertengahan abad ke-7 ditaklukkan oleh kerajaan
Sriwijaya. Selama empat abad kerajaan ini berkuasa di daerah Sumatera Selatan bagian timur dan
di bawah pemerintahan raja-raja Syailendra bukan saja menjadi pusat politik di
Asia Tenggara, melainkan juga menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Pada awal abad ke-15 kerajaan Malaka di Semenanjung berkembang dengan
sangat cepat menjadi pusat perdagangan dan pusat pertemuan para pedagang dari
Indonesia, Tiongkok, dan dari Gujarat. Para pedagang dari Jawa pada waktu itu
dikuasai oleh Majapahit membawa rempah-rempah, cengkih dan pala dari Indonesia
Timur ke Malaka. Hasil bumi di Sumatera yang berupa kapur barus, lada, kayu
cendana, dan yang lainnya dibawa ke Malaka oleh para pedagang dari Sumatera. Di
Malaka mereka membeli barang-barang dagangan yang dibawa oleh para pedagang
dari Tiongkok dan Gujarat berupa sutera dari India, kain pelikat dari
Koromandel, minyak wangi dari Persia, kain dari Arab, kain sutera dari Cina,
kain bersulam dari emas dari
Tiongkok, kain satin, kipas dari Tiongkok, dan barang-barang perhiasan yang
lain.
Letak kota pelabuhan Malaka sangat menguntungkan bagi lalu lintas
dagang melalui laut dalam abad ke-14 dan 15. Semua kapal dari Tiongkok dan
Indonesia yang akan berlayar ke barat melalui Selat Malaka. Demikian pula semua kapal-kapal dari negara-negara
yang terletak di sebelah barat Malaka apabila berlayar ke Tiongkok atau ke Indonesia juga melalui Selat
Malaka, sebab pada
saat itu, Malaka
adalah satu-satunya kota pelabuhan di Selat Malaka. Oleh karena itu, Malaka
menguasai perdagangan antara negara-negara yang terletak di daerah utara, barat dan timurnya.
Perkembangan Malaka
yang sangat cepat berdampak positif terhadap bahasa Melayu. Sejalan dengan lalu
lintas perdagangan, bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa perdagangan dan
juga penyiaran agama Islam dengan cepat tersebar ke seluruh Indonesia, dari
Sumatera sampai ke kawasan timur Indonesia.
Perkembangan Malaka
sangat cepat, tetapi hanya sebentar, karena pada tahun 1511 Malaka ditaklukkan
oleh angkatan laut Portugis dan pada tahun 1641 ditaklukkan pula oleh Belanda.
Dengan kata lain, Belanda telah menguasai hampir seluruh Nusantara.
Belanda, seperti halnya negara-negara asing yang lain sangat tertarik
dengan rempah-rempah Indonesia. Mereka tidak puas kalau hanya menerima
rempah-rempah dari pedagang Gujarat. Oleh karena itu, mereka datang sendiri ke
daerah rempah itu. Pada tahun 1596 datanglah pedagang Belanda ke daerah Banten
di bawah nama VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie). Tujuan utama mereka adalah untuk berdagang, tetapi sejak
tahun 1799 diambil alih oleh pemerintah Belanda. Dengan demikian tujuannya
bukan hanya untuk berdagang, melainkan juga untuk tujuan sosial dan pendidikan.
Masalah yang segera dihadapi oleh Belanda adalah masalah bahasa
pengantar. Tidak ada pilihan lain kecuali bahasa Melayu yang dapat digunakan sebagai bahasa pengantar, karena pada saat itu bahasa
Melayu secara luas sudah digunakan sebagai lingua
franca di seluruh Nusantara. Pada tahun 1521, Pigafetta yang mengikuti
pelayaran Magelhaens mengelilingi dunia, ketika kapalnya berlabuh di Tidore,
menuliskan kata-kata Melayu. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Melayu yang
berasal Indonesia sebelah itu telah tersebar luas sampai ke daerah Indonesia
sebelah timur.
Dari hari ke hari kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca semakin kuat, terutama dengan tumbuhnya rasa
persatuan dan kebangsaan di kalangan pemuda pada awal abad ke-20 sekalipun
mendapat rintangan dari pemerintah dan segolongan orang Belanda berusaha keras
menghalangi perkembangan bahasa
Melayu dan berusaha menjadikan
bahasa Belanda sebagai bahasa nasional di Indonesia. Para pemuda yang tergabung
dalam berbagai oraganisasi, para cerdik pandai Indonesia berusaha keras
mempersatukan
rakyat. Mereka sadar bahwa hanya dengan persatuan seluruh rakyat, bangsa
Indonesia dapat menghalau kekuasaan kaum penjajah dari bumi Indonesia dan
mereka sadar juga hanya dengan bahasa Melayu mereka dapat berkomunikasi dengan rakyat. Usaha mereka menyatukan rakyat,
terutama para pemudanya memuncak pada Kongres
Pemuda di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928, dalam kongres itu para
pemuda dari berbagai organisasi pemuda mengucapkan ikrar mengaku berbangsa
satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; dan
menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Demikianlah, tanggal 28 Oktober merupakan hari yang amat penting,
merupakan hari pengangkatan atau penobatan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, atau dengan kata lain
sebagai bahasa nasional.
Pengakuan dan pernyataan yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928
itu tidak akan ada artinya tanpa diikuti usaha untuk mengembangkan bahasa
Indonesia, meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Sebagai realisasi usaha itu, pada tahun 1939 para cendekiawan dan budayawan
Indonesia menyelenggarakan suatu kongres, yaitu Kongres Bahasa Indonesia I di
Solo, Jawa Tengah. Dalam Kongres itu Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa
"Jang dinamakan 'bahasa Indonesia' jaitoe bahasa melajoe jang
soenggoehpoen pokoknya berasal dari 'melajoe riau' akan tetapi jang soedah
ditambah, dioebah atau dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe,
hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat diseloeroeh Indonesia,
pembaharoean bahasa malajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes
dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan
Indonesia". Oleh karena itu, kongres pertma ini memutuskan bahwa buku-buku
tata bahasa yang sudah ada tidak memuaskan lagi, tidak sesuai dengan
perkembangan bahasa Indonesia sehingga perlu disusun tata bahsa baru yang
sesuai dengan perkembangan bahasa.
Hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1942 tak
satu keputusan pun yang telah dilaksanakan karena pemerintah Belanda tidak
merasa perlu melaksanakan keputusan-keputusan itu. Barulah pada masa pendudukan
Jepang Bahasa Indonesia memperoleh kesempatan berkembang karena pemerintah
Jepang seperti halnya pemerintah penjajah yang lain sesungguhnya bercita-cita
menjadikan bahasa
resmi di Indonesia terpaksa menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar
di sekolah-sekolah. Perkembangan berjalan dengan sangat cepat sehingga pada
waktu kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia telah
siap menerima kedudukan sebagai bahasa negara, seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36.
Dari
sudut pandang linguistik,
bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang
dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)
dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat
penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan
berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa
Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama
bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa
Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya.
Pada
dasarnya bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai
bahasa penghubung antar
suku di nusantara dan sebagai bahasa yang digunakan
dalam perdagangan antara pedagang dari dalam nusantara dan dari luar nusantara.
Perkembangan
dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak lebih jelas dari
berbagai peninggalan – peninggalan, misalnya :
1.
Tulisan yang terdapat pada batu nisan di Minye Tujoh,
Aceh pada tahun 1380 M.
2.
Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang, pada tahun 683.
3.
Prasasti Talang Tuo, di Palembang, pada tahun 684.
4.
Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada tahun 686.
5.
Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada
tahun 688.
Bahasa
Melayu menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam
di wilayah nusantara, serta makin berkembang dan bertambah kokoh keberadaannya
karena bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang,
antar bangsa dan antar kerajaan.
Perkembangan
bahasa Melayu di wilayah nusantara memengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu para pemuda
Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia
(Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928)
Bahasa
Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara
pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau
Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di
Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan.
Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari
Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa
Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan
dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi
beragam.
Istilah
Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha
pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara
geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan
sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah
Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu
tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut
disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota
Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan
masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya
yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi
klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di
Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa
penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga
Laguna.
Bahasa
Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o"
seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung
Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam
perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini)
dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat
mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung
Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau
Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia.
Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat
"e".
Kesultanan
Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora
sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga
berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan
penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga
memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako,
Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a"
seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk
asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek
moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu
kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu
untuk menamakan kepulauan Nusantara.
Secara
sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek
moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu
terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu
Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan
perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan
makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga
telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M.
Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai
berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor
genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku
berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan
lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan
Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari
abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna)
sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera
bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang
bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa
ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad
berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra,
istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode
hingga abad ke-15 Masehi.
Pada
abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical
Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang
perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang
dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari
Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam
ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran
agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti
masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti
anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini.
Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan
pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan
informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa
Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan
sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela.
Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi,
kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga
awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel
adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa
yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa
Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan
Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan
dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu,
loteng, teko, tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang
Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia
timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu
ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan
menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun
bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di
kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga
menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah
dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa
Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal ini secara umum
dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Terobosan
penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana
Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi
dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan
dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga
akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa
Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan
tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi
memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi
kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Pemerintah
kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat
dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena
penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari
bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada
awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai
terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi
ejaan Van Ophuijsen dan
pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu
oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi
pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur
("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini
menjadi Balai Poestaka.
Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi
dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat,
dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia
secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional
atas usulan Muhammad Yamin,
seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika
mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa
diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua
bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan
atau bahasa persatuan."
Selanjutnya
perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh
sastrawan Minangkabau,
seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan
tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Bentuk
yang lebih formal, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan
keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini
lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif
bahasa Melayu Pasar.
Pemerintah
kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan
bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa
Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu
Tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi bahasa Melayu Pasar
sudah terlanjur diadopsi oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.
Penyebutan
pertama istilah “Bahasa Melayu” sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M,
yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuna
dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan Aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan
maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga
meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuna di Jawa Tengah. Keping Tembaga
Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu
dengan Sriwijaya.
Karena
terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, Ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah bahasa Melayu Klasik
merupakan kelanjutan dari Melayu Kuna. Catatan berbahasa Melayu Klasik pertama
berasal dari Prasasti Terengganu berangka tahun 1303. Seiring dengan
berkembangnya agama Islam dimulai dari Aceh pada abad ke-14, bahasa Melayu
klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi
“Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
Bahasa
Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa
pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai
bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai
sebanyak 360).
1.
Bahasa
Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.
Bahasa Jawa
jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang
dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat.
Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif
yang lebih besar.
3.
Bahasa
Melayu Riau yang dipilih, dan bukan
Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi),
ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau,
Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh
Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling
sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke,
ataupun dari bahasa lainnya.
4.
Pengguna
bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain
Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih
dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan
Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara
jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang
kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun
kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih
ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan
kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan
Jepang.
Berikut merupakan
perkembangan bahasa Indonesia secara rinci:
1.
Kerajaan Sriwijaya (dari abad ke-7
Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa
kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia berdekatan yang
ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu berangka tahun
900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
2.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk
yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan
Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya
terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan
Semenanjung Malaya.
3.
Pada akhir abad ke-19 pemerintah
kolonial Hindia-Belanda melihat bahwa bahasa Melayu (Tinggi) dapat dipakai
untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi. Pada periode ini
mulai terbentuklah “bahasa Indonesia” yang secara perlahan terpisah dari bentuk
semula bahasa Melayu Riau-Johor. Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan
sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum
banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan
bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
4.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred
Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa “penghuni
Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara
berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang
Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur.
Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda.”
5.
Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu
pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan
Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi
ejaan Wilkinson.
6.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui
sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin,
seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : “Jika mengacu pada
masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada
dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan
Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.“
Bahasa
Melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, dan
Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa. Bahasa
Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur yang berasal
dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan
tidak rnenimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat dan
tidak ada persaingan antarbahasa daerah. Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib
bersyukur atas kerelaan merekamembelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang
lebih tinggi, yakni cita-cita nasional. Hal seperti ini
tidak terjadi di negara tetangga kita, misalnya Malaysia, Singapura, dan
Filipina. Bahasa Filipina (Tagalog) yang diangkat menjadi bahasa
nasional mendapat saingan keras dari bahasa Sebuano dan Hokano
yang tidak rela bahasa Tagalog menang. Malaysia mencontoh
Indonesia dalam kebijakan bahasa mereka dengan menetapkan bahasa Malaysia sebagai bahasa persatuan, yang sekarang sudah menjadi
bahasa resmi. Singapura menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan
dan menduduki bahasa kedua setelah bahasa Inggris. Dalam pada
itu, ada beberapa pendapat berkaitan dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang perlu kita perhatikan. Muh. Yamin, penyusun ikrar Sumpah
Pemuda, pada Kongres Pemuda IndonesiaI tahun 1926, menyatakan keyakinannya
bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan
umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam
bahasa itu. Selanjutnya dengan tegas dia
menyatakan bahwa bahasa yang dahulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah
dikubur dan hidup menjelma menjadi bahasa Indonesia. Tiga bulan menjelang diadakan Sumpah Pemuda, tepatnya
pada 15 Agustus 1926, Soekarno dalam pidatonya menyatakan bahwa
perbedaan bahasa di antara suku bangsa Indonesia tidak akan menghalangi
persatuan, tetapi makin luas bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar, makin cepat kemerdekaan Indonesia akan terwujud. Ada
pendapat lain, sesudah, diikrarkan Sumpah Pemuda, terutama yang
berkaitan dengan ikrar ketiga, St. Takdir Alisjahbana menjelaskan secara luas apa yang disebut bahasa
Indonesia. Dia menyatakan, bahasa Indonesiaialah bahasa perhubungan yang
berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk AsiaSelatan dan setelah
bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai
bahasa persatuan. Dalam pernyataan itu dengan sengaja dicantumkan kata
dengan zwa/untuk membedakan pengertian antara bahasa yang
dahulu disebut bahasa Melayu dengan bahasa yang sekarang disebut bahasa
Indonesia. Selanjutnya, St. Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa
bahasa Indonesia itu terusan, sambungan dari bahasa Melayu, tetapi ada
bedanya dengan fase yang dahulu. Bahasa Indonesia itu dengan insaf
diangkat dan dijunjung serta dipakai sebagai bahasa yang
memperhubungkan dan menyatukan
rakyat Indonesia.
St. Takdir Alisjahbana
Sejalan dengan pendapat di atas, H.B. Yassin menyatakan
bahwa Sumpah Pemuda adalah suatu manifesto politik yang juga mengenai
bahasa. Penamaan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia tidak berdasarkan perbedaan
dalam struktur
dan perbendaharaan bahasa pada masa itu, tetapi semata-mata dasar politik. Dalam bahasa tidak
terjadi perubahan apa-apa, tetapi hanya berganti nama sebagai
pernyataan suatu cita-cita kenegaraan, yaitu kesatuan, tanah air,
bangsa dan bahasa.Perlu Anda ketahui bahwa pada zaman penjajahan Belanda ketika
Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa Melayu memperoleh
pengakuan sebagai bahasa resmi kedua, di samping bahasa
Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan Rakyat. Sayangnya,
anggota bumi putra tidak banyak yang memanfaatkannya.Masalah
bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo
padatahun 1938. Pada kongres itu ada dua hasil keputusan yang penting, yaitu
bahasa Indonesia diusulkan menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa
pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan. Demikianlah
lahirnya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari
langit, tetapi
melalui perjuangan panjang disertai keinsyafan, kebulatan tekad, dan semangat
untuk bersatu. Dan, api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai
Indonesia merdeka, yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah Jepang. Pada
tahun 1942 Jeparig menduduki Indonesia. Dalam keadaan tiba-tiba, Jepang tidak
dapat memakai
bahasa lain, selain bahasa Indonesia untuk berhubungan dengan rakyat Indonesia. Bahasa
Belanda jatuh dari kedudukannya sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang
digunakan. Sebenarnya Jepang mengajarkan bahasa Jepang kepada
orang Indonesia dan bermaksud membuat bahasa Jepang menjadi bahasa resmi di
Indonesia sebagai pengganti bahasa Belanda. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara
cepat seperti waktu dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang
memilih jalan yang praktis, yaitu memakai bahasa Indonesia yang sudah
tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Perlu Anda catat bahwa selama
zaman pendudukan Jepang 1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai
bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan. Demikianlah,
Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya
agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Bagi orang Indonesia hal itu
merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan.
Dalam waktu
yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari berorientasi terhadap bahasa Belanda
ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang
belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memakai bahasa
Indonesia. Saat Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan, makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua
peristiwa tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional identik dengan
bahasa persatuan yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan semangat kebangsaan.
Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara secara formal belum terwujud.DOWNLOAD KLIK DISINI